Kangen Menulis
Oleh: Siti Romdiyah
Tim Peningkatan Mutu KKG PAI KAB BLITAR
Adanya tugas yang beriringan dan menuntut semua terselesaikan secara cepat dan tepat, tak khayal membuat pecinta literasi harus merubah bahkan meninggalkan jadwal menulisnya. Seperti yang ini kali dirasakan oleh pegiat literasi asal Wlingi Kabupaten Blitar sebut saja namanya Bu Diyah (bukan nama sebenarnya), seorang tenaga pendidik di wilayah Blitar Selatan.
Dia bayangkan saat masa sebelum tersebarnya virus Covid 19, pasti enak dan mudah menulis bila dia bisa bekerja di rumah. Memantau lembaga dan orang-orang di lembaganya dengan CCTV yang dia pasang di pojok-pojok ruangannya. Harapan bisa istiqomah membaca dan menulis bergelora di hatinya.
Allah pun mengabulkan harapannya. Adanya Covid 19 yang membuat dia harus Work From Home (WFH).
Bayangan indah bisa aktif menulis dengan target menyelesaikan tulisan “Welcome to Haromain” tatkala ada informasi WFH tergambar indah di pelupuk matanya. Walau dia juga sedih adanya WFH adalah akibat menyebarnya virus Covid 19, dia tetap berusaha mengambil hikmahnya dengan target menyelesaikan tulisannya dan membaca buku-buku yang baru dibelinya.
WFH yang dia harapkan ternyata tak seindah bayangan. Di antara penyebab utamanya adalah kesibukan dalam memantau lembaga yang menjadi tanggung jawabnya, baik aset lembaga, tenaga pendidik dan kependidikan juga siswa-siswinya, membuat dia harus staytune info setiap saat.
Faktor lain yang membuat ribet dan rusaknya
schedule yang Bu Diyah canangkan adalah kurangnya kesiapan lembaga, stakeholder dan orangtua untuk melaksanakan model daring yaitu penyajian informasi dan fakta secara luas melalui media massa kepada publik saat lockdown.
Kurangnya kesiapan semua pihak bukanlah tidak beralasan. Adanya penyebaran virus Covid 19 yang begitu cepat dan di luar dugaan menjadi pemicu utama ketidaksiapan di berbagai sektor kelembagaan. Termasuk efek ketidaksiapan tersebut adalah Schedule yang Bu Diyah susun. Target setiap hari membaca buku dan membuat catatan-catatan ringan atas ide yang bermunculan ambyar seiring se ambrek tugas kedinasannya.
Pagi hari, Bu Diyah harus memantau pembelajaran anak, agak siang mengumpulkan jurnal guru sekaligus jurnal pribadi dan mengirimnya secara online ke Dinas Pendidikan. Belum lagi dia harus membuat laporan berupa video mini terkait beberapa kegiatan yang Dinas Pendidikan amanahkan padanya.
Hal ini membuat dia tujuh keliling berupaya menyelesaikan tugasnya tanpa peduli kapan dan di mana dia harus bekerja. Dia berusaha dan berupaya menjaga amanah yang diembankan padanya. Hidupnya serasa bergantung pada signal paket data seluler. Bagaimana tidak? Domisili di pegunungan membuat dia kesulitan dalam mengakses internet. Dia harus berburu info dan signal. Walau di rumah sudah ada wifi, itu bukan jaminan. Daerah pegunungan yang dominan sering hujan membuat signal pun putus nyambung.
Situasi dan kondisi tersebut, tentu membuat Bu Diyah kangen kebiasaan menulisnya. Sesekali dia usahakan membuka dan membaca buku atau tulisan-tulisan indah karya teman-teman pegiat literasi dari komunitasnya. Tetapi kegiatan itu tidak membuat rasa kangen menulisnya hilang. Justru dengan membaca tulisan-tulisan tersebut membuat kangen nya semakin menggebu. Dia coba menulis ide yang ber seliwer an saat membaca. Sekali lagi karena kesibukannya ide tinggallah ide dan hanya menjadi catatan kecil yang tidak bermakna.
Dari ilustrasi tersebut siapakah yang salah? Mengapa Bu Diyah tidak bisa menulis? Apakah benar karena Covid 19 yang menuntut dia harus kerja hingga larut malam membuat kebiasaan menulis menjadi hilang? Pertanyaan tersebut tentu menarik untuk ditelaah agar diketahui dan ditemukan solusi mengatasi rasa kangen menulis.
Setiap manusia pasti mengalami yang namanya kesibukan. Setiap orang sibuk, demikian Bapak Moh. Khoiri sampaikan dalam bukunya yang berjudul SOS. Sibuk yang dalam bahasa jawa disebut repot pasti dialami oleh setiap manusia. Bahkan bisa dikatakan itu lumrah. Ada kata bijak dalam bahasa Jawa mengatakan "yen pengen urep yo kudhu gelem repot, yen ora pengen repot yo mati wae". Maknanya setiap manusia pasti mengalami kesibukan karena kesibukan itulah yang menandakan manusia tersebut masih hidup, bila manusia tidak sibuk itu tanda manusia sudah tidak memiliki kehidupan atau mati.
Yang menjadi pertanyaan adalah kesibukan yang jadi masalah atau manusianya yang tidak bisa mengatur waktu hingga diperbudak oleh kesibukan? Sungguh pertanyaan yang dilematis. Jawaban yang tepat jika mengacu pada Al-quran surat Al-‘Asr ayat 1- 3, manusialah yang perlu menata dan mengatur waktu bukan kesibukan yang mengatur manusia.
Rasa kangen menulis itu muncul karena adanya ketidak sesuaian manusia dalam mengatur waktunya. Konsep sepertiga waktu untuk beribadah, sepertiga untuk bekerja dan sepertiga untuk istirahat yang dicontohkan Rasulullah pasti tidak terpenuhi secara nyata. Ketidak seimbangan pengaturan waktu ini membuat hilangnya beberapa schedule yang di canangkan, contohnya kebiasaan berliterasi.
Di antara solusi agar hilang rasa kangen menulis hilang adalah dengan membuat schedule, berusaha menepati schedule dan mengevaluasi kembali schedule yang sudah ada.
1.
Membuat schedule menulis.
Menulis merupakan kegiatan yang melibatkan pikiran, perasaan, jiwa dan raga tidak bisa dilakukan secara sim salabim abra kadabra. Dibutuhkan penataan waktu, tenaga dan pikiran untuk menghasilkan karya indah tulisannya. Penulis sejati tidak hanya sekedar menulis. Dia memiliki prinsip bahwa sejatinya menulis adalah memberikan pesan kepada pembaca melalui tulisannya. Dia berharap mampu menggerakkan pembaca untuk melakukan perubahan sesuai pesannya. Untuk itu, seorang penulis tidak akan menulis asal tulis. Dia harus mempersiapkan segalanya sesuai dengan situasi dan kondisi saat itu yang disebut dengan perencanaan atau schedule.
2.
Menepati schedule menulis.
Perencanaan akan hanya jadi perencanaan jika itu tidak dilaksanakan. Demikian juga perencanaan menulis yang bagus dan runtut tidak akan menghasilkan karya jika dia hanya dijadikan sebuah pajangan. Dibutuhkan kesiapan dan ketepatan untuk menjalankan schedule yang ada dengan tetap berpegang teguh pada konsep keseimbangan diri. Ibarat sepasang kekasih, schedule adalah sebuah janji. Yaitu janji terhadap orang yang dikasihi untuk saling menepati dan mempercayai. Janji hanya akan tinggal janji bila tiada ditepati. Niat tulus untuk menepati janji merupakan modal terlaksananya schedule yang berujung karya sebuah tulisan.
3.
Mengevaluasi Schedule menulis.
Masa berputar seiring zaman. Menuntut kecerdasan, ketelitian, kesabaran dalam berpikir dan bersikap. Apa yang dicanangkan dalam schedule sekarang belum tentu tepat dilaksanakan di masa yang akan datang. Contohnya apa yang dijadwalkan Bu Diyah tersebut. Kebiasaan membaca dan menulis di kala jam istirahat harus ambyar karena giat pemantauan belajar siswa atau pembelajaran yang dilakukan guru secara online.
Hal tersebut menuntut kepekaan diri dalam mensikapi perubahan yang ada. Tidak bisa terus berpedoman pada jadwal yang telah dibuat. Diperlukan evaluasi kekinian sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada.
Adakalanya tulisan tidak bisa terwujud karena kurangnya kejelian penulis dalam perencanaan jadwal menulisnya. Schedule yang dibuat kadangkala harus di cancel bahkan di delete karena berbenturan dengan kegiatan lain yang menuntut peyelesaian secara cepat, tepat dan tuntas. Dalam hal ini penulis harus mengevalusi kembali jadwal menulisnya, bukan menyalahkan siatuasi dan kondisi yang ada. Schedule yang membuat penulis, otomatis penulis punya hak untuk merubahnya sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada. Bukan schedule yang salah atau tidak tepat sehingga tidak terwujud sebuah karya, namun schedule yang penulis buat harus di upgrade sesuai situasi dan kondisi yang ada.
Demikianlah di antara tiga hal yang dapat dilakukan untuk mengatasi rasa kangen menulis. Semoga dengan tips tersebut terwujud karya-karya pegiat literasi hebat walau saat ini negeri dalam kondisi dikelilingi informasi covid 19.
Wlingi, 10 April 2020
Tim Peningkatan Mutu KKG PAI Kab Blitar
Siti Romdiyah